Home, Kesultanan, Penjajahan, Kemerdekaan, Tokoh, Pengelola

Monday, December 5, 2016

Nenek Entjon dari Banten di Australia

Mohamad Bondan (duduk, kedua dari kanan). 

Mohamad Bondan, seorang nasionalis diasingkan ke Boven Digul, Papua, oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1934. Dia mengalami pengasingan selama delapan tahun di Digul. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Belanda mengangkut para Digulis, termasuk Bondan, ke Australia. Di sana, Bondan bertemu dengan Nenek Entjon asal Banten. Bagaimana sang nenek bisa sampai ke Negeri Kanguru?

Bondan bergerak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Negeri Kanguru tersebut dengan mendirikan Komite Indonesia Merdeka dengan badan koordinatornya disebut Cenkim (Central Komite Indonesia Merdeka). Organisasi ini menggalang dukungan dari berbagai pihak yang peduli terhadap kemerdekaan Indonesia, termasuk seorang nenek tua dari Banten yang tinggal di Australia.

Bondan tidak menyangka bahwa sebelum tahun 1910 sudah ada warga Indonesia yang bermukim di Australia di dekat Mackay. “Menurut ceritanya dia berasal dari Banten. Mengikuti suaminya yang bernama Entjon, di kala itu menjadi pekerja penanam tebu,” kata Bondan dalam Genderang Proklamasi di Luar Negeri. Australia menanam tebu besar-besaran di daerah Queensland bagian utara. Bibitnya berasal dari Jawa. Ketika kekurangan tenaga kerja, pekerjanya pun didatangkan dari Jawa, termasuk Banten. 

Nenek Entjon sudah lanjut usia. Saat kali pertama bertemu, Bondan menaksir usia Nenek Entjon berusia 65 tahun. “Jika dia memanggil saya selalu dengan sebutan ‘cucuku’. Memang dia sudah beranak-cucu,” kata Bondan. Bahkan cucunya semuanya sudah “putih” dalam artian kulit dan warga negara. Cucu-cucunya sudah mempunyai hak memilih wakil-wakil di Parlemen. Bahasanya sudah bahasa Inggris, tidak mengerti bahasa Indonesia. Hanya Nenek Entjon yang masih mengerti bahasa Indonesia dan Jawa.

Nenek Entjon berkata, ketika meninggalkan Banten, dia tidak bisa membaca dan menulis. Dia belajar di Australia sehingga bisa membaca dan menulis dan berbahasa Inggris. “Kalau berkirim surat kepada saya, dia pergunakan bahasa Inggris. Bagus juga susunan redaksinya. Secara praktis mungkin saya saya kalah olehnya,” kata Bondan.

Meskipun fisiknya sudah tua, tetapi semangatnya masih hidup. Nenek Entjon tidak lupa tanah airnya, terutama daerahnya di Banten. “O, my grandson, I am very pleased that Indonesia becomes free,” kata Nenek Entjon kepada Bondan. 

“Sudah tua, jauh dari tanah air, tetapi semangat nasionalnya tidak hilang. Itulah pengaruh Proklamasi di luar negeri,” kata Bondan menutup kisahnya tentang Nenek Entjon. 

No comments:

Post a Comment