Keraton Kaibon Kesultanan Banten. Foto: Istimewa. |
Dua pucuk surat tulisan tangan Kiai Ngabehi Cakradana tersimpan di Kopenhagen. Di muka amplop salah satunya bertahun 1671-1672, ditambahkan catatan dalam bahasa Denmark: “Cinabij Sabandorz hos sultanen til Bandtam” artinya “syahbandar kota Pecinan untuk sultan Banten.” Dari kata-kata itu diketahui bahwa Cakradana adalah syahbandar kerajaan sekaligus pemimpin masyarakat Tionghoa. Ternyata tak hanya itu. Dia juga dikenal sebagai arsitek permukiman dan pertahanan Banten.
Tak diketahui pasti tempat dan tanggal lahir Cakradana, tapi kemungkinan dia lahir sebelum tahun 1630. Dia keturunan Tionghoa dan menyandang nama Tantseko. Mengawali karier sebagai pandai besi, dia kemudian diangkat menjadi syahbandar dan kepala bea cukai di bawah syahbandar utama, Kaytsu. Diduga, kedudukan sosial Cakradana naik berkat Kaytsu.
Cakradana menggantikan Kaytsu, yang wafat pada 1674, sebagai syahbandar utama pada 23 Februari 1677 dengan gelar Kiai Ngabehi Cakradana. Dia meninggalkan agama lamanya dan memeluk Islam. Sebuah sumber Inggris tahun 1666 menyebut Cakradana “orang yang paling disukai sultan.” Pedagang Prancis di Banten, Jean-Baptiste de Guilhen, tak ragu menulis: “Jelas bahwa dia adalah anak emas raja.”
Bersama Kaytsu, dia berhasil menggerakkan perekonomian Banten. Saat perdagangan di Banten meledak, Banten melakukan pembangunan besar-besaran. Dan Cakradana jadi arsiteknya. Proyek dimulai tahun 1671 dengan pembangunan sebuah kompleks permukiman berupa rumah petak di Pecinan. Area ini cukup luas karena mencakup sekitar 120 rumah bata dengan toko di lantai dasarnya.
Menurut Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, sultan gemar akan rumah-rumah bata yang berasal dari tradisi China daripada bangunan menurut kebiasaan Jawa dengan kayu dan bambu. Selain itu, “sejumlah gedung dari istana Banten benar-benar diilhami oleh tradisi China, menurut sketsa yang dibuat oleh dokter Cortem nde dari Denmark,” tulis Guillot.
Laporan dari loji Inggris di Banten menyebutkan, “di tahun ini (1671), di sini (Banten) telah ada tiga jalan cukup baik dibangun oleh raja dan toko-toko untuk menampung mereka (orang-orang Tionghoa).” Guilhen menambahkan, “Cakradana membangun jalan-jalan seluruhnya atas biaya sendiri.”
Kedua catatan yang saling melengkapi ini memberikan penjelasan menarik tentang cara kerja pemerintahan Banten. “Negara atau raja meluncurkan atau menyetujui pembangunan sebuah kawasan permukiman yang cukup besar, tapi menyerahkan realisasi dan pembiayaannya kepada sebuah perusahaan swasta, dalam hal ini Cakradana,” tulis Guillot. Sebagai juru dagang yang berpengalaman, mudah bagi Cakradana untuk mendapatkan kembali modal yang ditanamkannya dalam proyek ini dan bahkan memperoleh keuntungan.
Cakradana juga membangun dua jembatan batu –sebuah teknik yang tak dikenal di Jawa. Yang satu di dalam kota, sebelah utara istana, dengan tiang-tiang penyangga dari batu karang. Satunya lagi untuk menyeberang dari kota raja ke daerah niaga di Karangantu, di sebelah timur kota. “Jembatan ini dikenal dengan nama jembatan rantai,” tulis Guilot, “yang berarti jembatan yang bagian atasnya bisa diangkat dan diturunkan.”
Namun, menurut pakar sejarah Tionghoa Claudine Salmon kepada Guillot, jembatan semacam ini tak dikenal dalam teknik pembangunan China yang lebih menyukai lengkungan cukup tinggi untuk memungkinkan pelayaran. Jembatan aslinya telah diubah setelah tahun 1682, ketika orang Belanda, yang ahli dalam pembuatan jembatan buka-tutup, menduduki kota Banten.
Dengan alasan terjadi ketegangan dengan Belanda di Batavia, diputuskan pula memperbaiki pertahanan kota. Cakradana memulai pembangunan awal 1677 dan membutuhkan waktu lebih dari satu tahun. Benteng ini, terutama bagian yang berada di tepi laut, cukup aneh karena berbentuk zig-zag, untuk mencegah runtuhnya tembok yang tak cukup tebal, dan dibangun di lahan berpasir.
“Banten menjadi satu-satunya kota di Nusantara yang sejak pertengahan abad ke-16 memiliki benteng terbuat dari bata yang khususnya mengelilingi kota raja, artinya kawasan permukiman yang terletak antara kedua muara,” tulis Guillot. Benteng yang tak lazim ini dapat bertahan selama lebih dari satu abad, meski di beberapa tempat terlihat berlobang. Pada Mei 1678, tiga pangeran terpenting di kesultanan, yaitu Pangeran Kidul, Pangeran Lor, dan Pangeran Kulon mengamati perbaikan benteng yang diperlukan, sementara tembok yang berhadapan dengan laut sudah selesai.
Cakradana juga membangun benteng pertahanan di Carang Ontongh (Karangantu), di luar kota raja di tepian lain muara timur. Benteng ini selesai pada Maret 1679 dan dikunjungi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Tembok benteng ini sangat tebal, terbuat dari batu yang dilapisi adukan kapur. Pengumpulan batu dikerjakan oleh para tahanan, khususnya yang dihukum karena kecanduan. Benteng ini diperkuat empat menara pertahanan di sepanjang sisi utara.
“Diperlukan keahlian yang tidak kami miliki untuk menentukan sumber-sumber yang mengilhami Cakradana dalam proyek arsitektural yang tiada bandingannya di Nusantara pada zaman itu,” tulis Guillot.
Setelah merebut kota itu tahun 1682, Belanda menghancurkan karya arsitektur Cakradana, dari benteng pertahanan hingga permukiman Tionghoa –hanya jembatan yang dirombak.
Benteng dihancurkan “sampai fondasi di sebelah timur Speelwijk” oleh orang Belanda tahun 1687. Meski demikian, tersisa sebuah peninggalan berupa tembok di sebelah utara di benteng Speelwijk. “Apabila kita lewat melalui pintu kecil berkubah yang menghadap ke laut dan mengamati tembok utara kubunya, terlihat dengan jelas tembok ini berbeda penggarapannya dibandingkan dengan yang lainnya," tulis Guillot. “Inilah, sepenggal tembok kota lama, karya Cakradana.”
Nasib Cakradana serupa bangunan-bangunan yang dia dirikan. Sultan Haji yang berkuasa setelah menyingkirkan ayahnya, Sultan Ageng, mencopot Cakradana sebagai syahbandar. Sultan Ageng sempat merebut kekuasaan dan mengangkat Cakradana sebagai perdana menteri dengan gelar Kyai Arya Martanata. Namun Sultan Haji, yang bersekutu dengan Belanda, kembali menyingkirkan Sultan Ageng, untuk selamanya.
Cakradana dan keluarganya mengungsi dan memulai kehidupan baru sebagai syahbandar di Cirebon. Dia terlibat dalam perniagaan maritim tapi dalam skala yang jauh lebih kecil. Dia meninggal di Cirebon dan sesuai dengan keinginannya, jasadnya dibawa ke Batavia untuk dikebumikan.
No comments:
Post a Comment