Tahanan politik perempuan di Kamp Plantungan. Mungkin salah satunya Mak Jasmi. Foto: KKPK. |
Setahu saya, belum ada penelitian mengenai para penyintas atau tahanan politik (tapol) pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Banten. Padahal, Banten pernah menjadi tempat berseminya gerakan kiri. Namun, dari memoar para penyintas saya menemukan nama-nama tapol yang berasal dari Banten. Bahkan, salah satunya seorang tapol perempuan: Mak Jasmi dari Cikotok, Banten.
Mia Bustam, istri pelukis S. Soedjojono dan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menyebut nama Mak Jasmi karena sama-sama berada dalam tahanan Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Mak Jasmi termasuk tapol yang telah lanjut usia.
Dalam memoarnya, Dari Kamp ke Kamp, Mia menyebut Mak Jasmi sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Dalam satu-satunya bahasa yang dia kuasai yakni bahasa Sunda, dia sering mengeluhkan penahanannya kepada Mia, "Kumaha eta atuh, neng? (Bagaimana ini, neng?)." Pertanyaan ini menunjukkan Mak Jasmi tak tahu apa penyebab dirinya ditahan.
Mia hanya bisa balik bertanya, "Yah, kumaha mak? (Yah, bagaimana mak?)"
Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, jumlah tapol perempuan yang dimasukkan ke Kamp Plantungan setidaknya menurut catatan resmi pemerintah sebanyak 500 orang. Salah satunya Mak Jasmi. Dalam data yang dihimpun oleh Amurwani, Mak Jasmi disebut sebagai anggota Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia).
Pada 1976, Mia dan para tapol di Blok C dipindahkan ke LP Bulu di Semarang. Mia merasa sedih karena harus meninggalkan teman-temannya di Plantungan. "Aku tahu bisa dipastikan aku takkan pernah bertemu lagi dengan sebagian besar kawan-kawan itu: Mak Iyot, Bu Encum, Bu Aes, Mak Jasmi dengan keluhannya, 'Kumaha eta, Neng?' atau Mak Amiek yang latah, 'Si jurig si meong' kalau dikagetkan, dan begitu banyak yang lain," kenang Mia.
Para tapol lain dari Plantungan kemudian juga dipindahkan ke LP Bulu, termasuk Mak Jasmi. Tak lama kemudian (tidak disebutkan tanggalnya mungkin sekitar tahun 1976 atau 1977), tapol ibu-ibu yaitu Ibu Aes, Ibu Encum, Mak Iyot, dan Mak Jasmi dibebaskan.
“Semua memakai kerudung bagus menuju ke pendopo, menuju ke portiran, ke keluarganya masing-masing,” kata Mia. “Kami iringkan mereka dengan puji syukur, orang-orang tua itu, mengharapkan segala yang terbaik bagi mereka.”
“Semua memakai kerudung bagus menuju ke pendopo, menuju ke portiran, ke keluarganya masing-masing,” kata Mia. “Kami iringkan mereka dengan puji syukur, orang-orang tua itu, mengharapkan segala yang terbaik bagi mereka.”
“Meski giliran kami belum tiba,” lanjut Mia, “namun kami senang untuk mereka. Akhirnya mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarganya,” kata Mia yang baru dibebaskan pada 28 Juli 1978.
Bagaimana nasib Mak Jasmi setelah bebas? Kemungkinan besar, dia seperti halnya para tapol lainnya, menghadapi hukuman baru berupa diskriminasi, stigma, dan dikucilkan lingkungannya.
No comments:
Post a Comment