Asmat. Foto: Selecta, 26 Januari 1981. |
Pada 1926 pecah pemberontakan yang digerakkan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintah kolonial Belanda di Banten. Orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan dibuang ke Digul, Papua. Salah satunya orangtua Asmat.
Asmat lahir di Menes, Pandeglang, Banten, pada 19 April 1902 dari pasangan ayah Banten dan ibu Aceh. Asmat mengenyam pendidikan Broeder School (Sekolah Dasar Kristen) pada 1914 sampai MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama). Dia kemudian bekerja sebagai pelaut dari tahun 1928 sampai 1932. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Asmat bergabung dengan API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang bermarkas di Kebon Sirih Jakarta.
“Kemudian berjuanglah dia bersama pemuda Indonesia lainnya, di antaranya Chaerul Saleh dan Tan Malaka,” tulis majalah Selecta, 26 Januari 1981. “API mendesak agar penandatanganan naskah Proklamasi segera dilakukan. Bung Karno pun diculiknya (ke Rengasdengklok) oleh Chaerul Saleh dan kawan-kawan termasuk pemuda Asmat yang setia mengikuti di belakang.” Proklamasi disusun setelah kembali ke Jakarta dan dinyatakan pada 17 Agustus 1945.
Setelah Indonesia merdeka, Asmat sempat bekerja di departemen luar negeri. Namun, dia memilih menekui pekerjaan sebagai ahli pengobatan. Kemampuan mengobati bermula ketika pada sekitar tahun 1944, dia tinggal di Kampung Bali Tanah Abang Jakarta Pusat. Seorang teman pejuang bermimpi matanya sembuh setelah diobati oleh Asmat. Asmat awalnya tak merasa memiliki kemampuan mengobati mengatakan, “Ah, lu gila. Masak gua suruh ngobatin penyakit mata yang sudah tidak lagi bisa melihat. Emangnya gua ini dokter spesialis mata apa.”
Temannya merengek meminta Asmat mengobatinya. Asmat menutup kedua matanya, mengucapkan kata-kata, lalu meniupnya sambil berkata “sembuh!” Ajaib, temannya itu bisa melihat lagi. Sejak itu, tersebar bahwa Asmat bisa menyembuhkan. Asmat mengobati berbagai penyakit: bengek, klinsir, TBC, keputihan (pektai), panas, gatal dan mata.
“Empat bulan pada tahun pertama (1944), pasiennya sudah mencapai 535 orang dari pelbagai penyakit, sebagian besar bengek dan turun berok dan klinsir,” tulis Selecta.
Melihat pasiennya semakin banyak, lanjut Selecta, Belanda memerintahkan agar Asmat menyediakan buku tamu karena dikhawatirkan praktik itu hanya kedok membentuk kekuatan untuk melawan kolonial. Apalagi Asmat bekas anggota API. Buku tamu yang dibuat pada 1 Agustus 1949 itu masih disimpannya dengan baik, walaupun tulisannya hampir tidak terbaca. Buku tulis biasa dengan tulisan pensil ini sangat berharga baginya.
Di samping mengobati, Asmat juga menjadi guru mengaji. Dia memberikan pembinaan spiritual dengan mengupas isi Alquran yang mengajak manusia untuk berbuat kebajikan. Menurut Asmat, setiap manusia yang akan melakukan perbuatan harus terlebih dahulu mempunyai moto: pikir, timbang, kira, dan rasa. “Tanpa empat faktor ini, orang akan lebih mudah berbuat dosa,” katanya.
Asmat menerima pasien tidak hanya masyarakat umum, tetapi juga di kalangan pejabat, seperti Sutjipto SH, mantan menteri pertanian; Mintareja, mantan menteri sosial; Sunawar Sukowati, dan Ir. Sutami, mantan menteri PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik).
Sutami berobat jalan kepada Asmat. Setiap kali berobat, dia memberikan Rp5.000 kepada Asmat. Uang yang sudah mencapai Rp35.000 digunakan untuk membeli mesin jahit yang diperlukan anaknya untuk belajar menjahit. Asmat memiliki tujuh anak dan 14 cucu.
“Jadi mesin jahit itu adalah hadian dari Pak Sutami,” kata Asmat yang menilai Sutami sebagai menteri yang jujur dan berdedikasi tinggi dalam bekerja. “Tapi sayang, usianya tidak panjang. Jembatan Semanggi ciptaannya padahal masih tetap kokoh yang mungkin tetap kuat sepanjang masa. Saya kalau mengingat Pak Tami merasa terharu sekali. Apalagi kalau melihat mesih jahit itu seolah saya berhadapan dengan wajah beliau. Benar-benar saya merasa berterima kasih kepadanya sebab cita-cita anak saya bisa menjahit terkabul karena dibeli dari uang pemberian Pak Tami.”
No comments:
Post a Comment