Berpakaian kain sarung berwarna hitam dengan baju hitam pula, tutup kepala berwarna biru tua dan tanpa alas kaki, Jaro Nakiwin dari Kanekes tampak agak tegang memasuki ruang kerja Presiden Soeharto di Bina Graha pada Senin, 27 Mei 1985.
Jaro Nakiwin diutus tiga puun (kepala adat) Baduy untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas segala perhatian dan bantuan yang diberikan Presiden Soeharto kepada masyarakat Baduy. Dia ditemani Aspan Sudiro, staf Menko Kesra.
Menurut Nakiwin melalui Aspan Sudiro, masyarakat Baduy mendoakan keselamatan presiden dan seluruh keluarga dan mengharapkan selalu berhasil dalam segala tugas memimpin negara dan bangsa.
Semula dikira Nakiwin tidak dapat berbahasa Indonesia, ternyata dia lancar berbahasa Indonesia dengan dialek Sunda yang kental. Menurutnya, dengan presiden dia membicarakan keadaan masyarakat Baduy pada umumnya, bagaimana mereka bertani, yang antara lain menanam talas, kelapa, pisang, jagung dan lainnya.
Nakiwin yang rupanya sering datang ke Jakarta sebagai “duta” masyarakat Baduy, mengatakan bahwa masyarakat Baduy yang hidup memencilkan diri di daerah Banten ini, ingin hidup tenteram dan damai dengan menjalani hidup sesuai dengan adat dan tradisi mereka. Oleh karena itu mereka mohon kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai usaha perusakan.
Sebaliknya, Soeharto berpesan kepada Nakiwin, agar masyarakat Baduy menjaga kelestarian alam dan lingkungannya. Menurut Aspan Sudiro, secara naluriah apa yang dipesankan presiden sudah dijalankan masyarakat Baduy. Menurut adat istiadat Baduy, mereka dilarang mengubah keadaan alam seperti menebang pohon sembarangan, membuang sampah ke sungai dan lainnya lagi. “Suku Baduy adalah masyarakat yang paling patuh terhadap segala peraturan itu,” kata Aspan, dikutip majalah Selecta, 17 Juni 1985.
Sebelum meninggalkan ruang kerja presiden, Nakiwin mendapat dua bingkisan besar besar berisi rokok. Presiden kemudian menitipkan salam untuk seluruh masyarakat Baduy.
No comments:
Post a Comment